chategory

Senin, 20 Mei 2013

Teka-teki Harta Karun Bajak Laut Oliver Levasseur


Kita sering mendengar mengenai legenda bajak laut dan harta karunnya yang tersembunyi. Tapi mungkin banyak yang belum pernah mendengar bahwa ada harta bajak laut yang dihubungkan dengan perkumpulan freemason. Ini adalah kisah bajak laut bermata satu, Olivier Levasseur.

Olivier Levasseur lahir di Calais, Perancis, sekitar tahun 1688 - 1690. Nama aliasnya adalah Le Buse atau La Bouche (elang). Julukan ini diperolehnya karena kecepatannya dalam menyerang musuh. Kita mungkin mengira bahwa bajak laut adalah mereka yang berasal dari kaum berandalan, namun tidak demikian dengan Levasseur. Ia lahir dari kalangan borjuis dan berada. Ia bahkan pernah mendapatkan pendidikan yang baik hingga akhirnya menjadi anggota pasukan angkatan laut Perancis.

Petualangannya dimulai ketika terjadi perang Spanish Succession tahun 1701-1714. Levasseur ditugaskan untuk bertempur di dalam perang ini. Ketika perang berakhir, ia dipanggil pulang oleh pemerintah Perancis. Namun ia menolak dan malah bergabung dengan bajak laut Benjamin Hornigold tahun 1716. Akibat perang yang dijalaninya, Olivier membawa sebuah bekas luka di dekat matanya yang membuat pandangannya menjadi lebih terbatas.

Setelah satu tahun melakukan berbagai pembajakan, perkumpulan Hornigold terpecah. Olivier berpisah dan mencoba peruntungannya di pantai barat Afrika. Pada tahun 1719, ia bekerja sama dengan bajak laut Howell Davis dan Thomas Cocklyn.

Pada tahun 1720, mereka menyerang pelabuhan Ouidah di pantai benin dan berhasil menghancurkan benteng-benteng disana. Pada tahun yang sama ia mengalami karam kapal di laut merah dan terdampar di pulau Anjouan, salah satu pulau di Comoro. Saat itu, satu matanya sudah benar-benar menjadi buta dan ia memutuskan untuk memakai penutup mata.

Pada tahun 1721, ia membangun markasnya di pulau Saint Mary, di dekat pantai Madagaskar. Bersama John Taylor dan Edward England, mereka berhasil melakukan beberapa pembajakan yang berhasil. Hasil pertama mereka adalah saat mereka berhasil membajak kapal Laccadives dan berhasil mendapatkan harta senilai 75.000 pound (sekitar 10,35 juta pound saat ini).

Kemudian, kesuksesan mereka yang terbesar datang ketika mereka berhasil menaklukkan kapal portugis Nossa Senhora do Cabo (The Virgin of the Cape) yang penuh dengan harta milik uskup Goa yang juga ada di atas kapal. Harta yang didapat antara lain batangan emas dan perak, lusinan kotak penuh dengan koin golden guineas, berlian, mutiara, batu rubi, sutra dan objek-objek religius dari katedral Saint Catarina di Goa, termasuk Flaming Cross of Goa yang terbuat dari emas murni. Total harta ini diperkirakan bernilai 100 juta poundsterling pada tahun 1968.

Namun petualangan Levasseur berakhir ketika ia ditangkap dan digantung pada tanggal 7 Juli 1730 di pulau Bourbon. Dan dari sinilah legenda mengenai harta yang hilang mulai berkembang.

Legenda mengatakan bahwa ketika ia berdiri di tiang gantungan dengan sepotong kain hitam menutupi matanya, ia mengenakan sebuah kalung yang berisi 17 baris pesan rahasia. Ia melemparkannya ke tengah kerumunan massa yang menyaksikannya dan berteriak,"Temukan hartaku bagi kalian yang bisa mengartikannya!"

Kisah mengenai kalung misterius dan harta ini menghilang selama beberapa abad dari publik hingga tahun 1923. Pada saat itu, seorang wanita bernama Mrs. Rose Savoy yang sedang berjalan-jalan menemukan beberapa ukiran di bebatuan di pantai Bel Ombre dekat Beau Vallon di pulau Mahe, Seychelles.

Selama ini ukiran tersebut tersembunyi dari pandangan akibat air pasang. Namun karena kondisi air yang surut tahun itu, ukiran itu mulai terlihat dan menunjukkan bentuk anjing, ular, kura-kura, kuda, lalat, dua gambar hati yang bersatu, sebuah lubang kunci, mata, kotak, tubuh seorang wanita dan kepala seorang pria.

Seorang notaris yang tinggal di Victoria yang mendengar berita ini percaya bahwa ukiran ini pastilah dibuat oleh para bajak laut. Ia lalu mencari ke dalam arsip-arsip tuanya dan menemukan dua dokumen yang mungkin memiliki hubungan dengan ukiran tersebut. Dokumen pertama adalah sebuah peta pantai Bel Ombre yang terbit tahun 1735 di Lisabon. Dalam peta tersebut tertulis : "Pemilik tanah..La Buse." La Buse adalah nama lain Levasseur.

Dokumen kedua adalah wasiat terakhir dari bajak laut Bernardin Nageon de L'Estang alias Le Butin (penyair) yang meninggal 70 tahun setelah Levasseur yang dengan suatu cara berhasil memiliki harta Levasseur. Dalam wasiat ini tetulis 3 baris Kriptogram dan dua surat.

Salah satu surat tersebut ditujukan untuk keponakannya :

"Aku kehilangan banyak dokumen selama karam kapal. Aku telah berhasil mengumpulkan kembali sejumlah harta yang disembunyikan; Namun masih ada empat lagi yang tertinggal. Kamu bisa menemukannya dengan kunci dan kombinasi dan dengan dokumen lainnya."

Lalu, surat lain yang ditujukan untuk kakak laki-lakinya berbunyi :

"Kapten kami terluka. Ia berusaha memastikan bahwa aku adalah benar seorang freemason. Setelah yakin, ia mempercayakan kepadaku dokumen-dokumen dan rahasianya kepadaku. Berjanjilah bahwa anak tertuamu akan mencari harta tersebut dan memenuhi mimpiku membangun kembali rumah kita. Komandan akan menyerahkan dokumen-dokumen tersebut. Jumlahnya ada tiga."

Surat ini pertama kalinya menunjukkan adanya kemungkinan keterkaitan antara perkumpulan freemason dengan harta Levasseur.

Notaris itu kemudian menghubungi Mrs. Savoy dan bersama-sama mereka melakukan penggalian di batu yang ditemukan Mrs.Savoy. Dibawah batu yang memiliki ukiran mata, mereka menemukan dua peti mati yang berisi dua kerangka beserta satu kerangka tanpa peti mati. Tiga kerangka tersebut dipercaya sebagai bajak laut karena cincin emas yang ada pada telinga kiri masing-masing. Tapi tidak ada harta yang ditemukan.

Pada tahun 1947, seorang Inggris bernama Reginald Cruise Wilkins, tetangga Mrs.Savoy mulai mempelajari dokumen-dokumen tersebut. Ia mulai dari tiga kriptogram dan dua surat yang ditemukan dan menemukan bahwa alphabet misterius tersebut memiiki hubungan dengan simbol masonik.

Wilkins juga menemukan bahwa kriptogram tersebut memiliki hubungan dengan Zodiak, buku clavicles of Solomon dan Dua belas tugas Herkules. Buku Clavicles of Solomon adalah sebuah buku yang berasal dari abad pertengahan yang berisi mistik masa reinassance. Sedangkan dua belas tugas Herkules adalah mitos dari Yunani mengenai dua belas tugas yang harus diselesaikan oleh Herkules.

Dalam usahanya yang panjang dan melelahkan, Wilkins berhasil memecahkan sebagian isi kriptogram tersebut. Ia menemukan petunjuk bahwa harta tersebut berada di sebuah ruang rahasia di dalam tanah. Ruangan itu dilindungi oleh air pasang yang membutuhkan bendungan untuk menahannya dan harus didekati dari sebelah utara. Akses ke dalamnya harus dilakukan lewat tangga batu dan terowongan yang menuju ke bawah pantai.

Wilikins melakukan beberapa penggalian di pulau Mahe. Di dalam sebuah gua, ia menemukan beberapa pistol kuno, beberapa koin dan peti mati bajak laut. Namun Ia tidak menemukan harta karun. Setiap penggalian yang dilakukannya, selalu merujuk kepada petunjuk berikutnya. Mengenai hubungan harta tersebut dengan freemasonry juga masih menjadi misteri yang belum terpecahkan.

Setelah mencari selama 27 tahun, Wilkins mulai kehabisan dana. Para investor yang tidak sabar mulai menolak mensponsorinya. Lagipula kesehatannya semakin menurun. Namun Wilkins percaya bahwa ia sudah sangat mendekati lokasi harta tersebut. Sayang, pada tanggal 3 Mei 1977 Wilkins meninggal dunia tanpa berhasil memecahkan potongan terakhir kode rahasia tersebut. Saat ini anaknya, John, yang berprofesi sebagai guru sejarah, meneruskan usahanya untuk menemukan harta tersebut.

"Temukan hartaku, bagi kalian yang bisa mengartikannya!" Dan suara tawa Levasseur terdengar menggema dari dalam kuburannya.


Notes :

Kuburan Olivier Levasseur saat ini berada di pulau Reunion, wilayah Perancis yang terletak di laut Hindia, sebelah selatan Madagaskar. Sedangkan Seychelles tempat harta itu berada adalah sebuah negara kepulauan yang kecil di Samudera Hindia, Timur Laut Madagaskar. Negara ini diapit oleh Mauritius, pulau Reunion, Komoro, Mayotte dan Maladewa. Luasnya sekitar 455 km persegi dengan jumlah penduduk sekitar 80.000 jiwa.

Sabtu, 09 Maret 2013

Indonesia Di Jajah 3.5 Abad Hanya Karena Sebuah Buku


Tahukah Anda bahwa karena sebuah bukulah maka bangsa Belanda bisa sampai di Nusantara dan melakukan penjajahan atas bumi yang kaya raya ini selama berabad-abad? Buku tersebut berjudul Itinerario naer Oost ofte Portugaels Indien , yang ditulis Jan Huygen van Linshoten di tahun 1595.


Inilah kisahnya:
Jauh sebelum Eropa terbuka matanya mencari dunia baru, warga pribumi Nusantara hidup dalam kedamaian. Situasi ini berubah drastis saat orang-orang Eropa mulai berdatangan dengan dalih berdagang, namun membawa pasukan tempur lengkap dengan senjatanya. Hal yang ironis, tokoh yang menggerakkan roda sejarah dunia masuk ke dalam kubangan darah adalah dua orang Paus yang berbeda. Pertama, Paus Urbanus II, yang mengobarkan perang salib untuk merebut Yerusalem dalam Konsili Clermont tahun 1096. Dan yang kedua, Paus Alexander VI.


Perang Salib tanpa disadari telah membuka mata orang Eropa tentang peradaban yang jauh lebih unggul ketimbang mereka. Eropa mengalami pencerahan akibat bersinggungan dengan orang-orang Islam dalam Perang Salib ini. Merupakan fakta jika jauh sebelum Eropa berani melayari samudera, bangsa Arab telah dikenal dunia sebagai bangsa pedagang pemberani yang terbiasa melayari samudera luas hingga ke Nusantara. Bahkan kapur barus yang merupakan salah satu zat utama dalam ritual pembalseman para Fir’aun di Mesir pada abad sebelum Masehi, didatangkan dari satu kampung kecil bernama Barus yang berada di pesisir barat Sumatera tengah.


Dari pertemuan peradaban inilah bangsa Eropa mengetahui jika ada satu wilayah di selatan bola dunia yang sangat kaya dengan sumber daya alamnya, yang tidak terdapat di belahan dunia manapun. Negeri itu penuh dengan karet, lada, dan rempah-rempah lainnya, selain itu Eropa juga mencium adanya emas dan batu permata yang tersimpan di perutnya. Tanah tersebut iklimnya sangat bersahabat, dan alamnya sangat indah. Wilayah inilah yang sekarang kita kenal dengan nama Nusantara. Mendengar semua kekayaan ini Eropa sangat bernafsu untuk mencari semua hal yang selama ini belum pernah didapatkannya.


Paus Alexander VI pada tahun 1494 memberikan mandat resmi gereja kepada Kerajaan Katolik Portugis dan Spanyol melalui Perjanjian Tordesillas. Dengan adanya perjanjian ini, Paus Alexander dengan seenaknya membelah dunia di luar daratan Eropa menjadi dua kapling untuk dianeksasi. Garis demarkasi dalam perjanjian Tordesilas itu mengikuti lingkaran garis lintang dari Tanjung Pulau Verde, melampaui kedua kutub bumi. Ini memberikan Dunia Baru—kini disebut Benua Amerika—kepada Spanyol. Afrika serta India diserahkan kepada Portugis. Paus menggeser garis demarkasinya ke arah timur sejauh 1.170 kilometer dari Tanjung Pulau Verde. Brazil pun jatuh ke tangan Portugis. Jalur perampokan bangsa Eropa ke arah timur jauh menuju kepulauan Nusantara pun terbagi dua. Spanyol berlayar ke Barat dan Portugis ke Timur, keduanya akhirnya bertemu di Maluku, di Laut Banda.


Sebelumnya, jika dua kekuatan yang tengah berlomba memperbanyak harta rampokan berjumpa tepat di satu titik maka mereka akan berkelahi, namun saat bertemu di Maluku, Portugis dan Sanyol mencoba untuk menahan diri. Pada 5 September 1494, Spanyol dan Portugal membuat perjanjian Saragossa yang menetapkan garis anti-meridian atau garis sambungan pada setengah lingkaran yang melanjutkan garis 1.170 kilometer dari Tanjung Verde. Garis itu berada di timur dari kepulauan Maluku, di sekitar Guam.


Sejak itulah, Portugis dan Spanyol berhasil membawa banyak rempah-rempah dari pelayarannya. Seluruh Eropa mendengar hal tersebut dan mulai berlomba-lomba untuk juga mengirimkan armadanya ke wilayah yang baru di selatan. Ketika Eropa mengirim ekspedisi laut untuk menemukan dunia baru, pengertian antara perdagangan, peperangan, dan penyebaran agama Kristen nyaris tidak ada bedanya. Misi imperialisme Eropa ini sampai sekarang kita kenal dengan sebutan “Tiga G”: Gold, Glory, dan Gospel. Seluruh penguasa, raja-raja, para pedagang, yang ada di Eropa membahas tentang negeri selatan yang sangat kaya raya ini. Mereka berlomba-lomba mencapai Nusantara dari berbagai jalur. Sayang, saat itu belum ada sebuah peta perjalanan laut yang secara utuh dan detil memuat jalur perjalanan dari Eropa ke wilayah tersebut yang disebut Eropa sebagai Hindia Timur. Peta bangsa-bangsa Eropa baru mencapai daratan India, sedangkan daerah di sebelah timurnya masih gelap.


Dibandingkan Spanyol, Portugis lebih unggul dalam banyak hal. Pelaut-pelaut Portugis yang merupakan tokoh-tokoh pelarian Templar (dan mendirikan Knight of Christ), dengan ketat berupaya merahasiakan peta-peta terbaru mereka yang berisi jalur-jalur laut menuju Asia Tenggara. Peta-peta tersebut saat itu merupakan benda yang paling diburu oleh banyak raja dan saudagar Eropa. Namun ibarat pepatah, “Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga”, maka demikian pula dengan peta rahasia yang dipegang pelaut-pelaut Portugis. Sejumlah orang Belanda yang telah bekerja lama pada pelaut-pelaut Portugis mengetahui hal ini. Salah satu dari mereka bernama Jan Huygen van Linschoten. Pada tahun 1595 dia menerbitkan buku berjudul Itinerario naer Oost ofte Portugaels Indien, Pedoman Perjalanan ke Timur atau Hindia Portugis, yang memuat berbagai peta dan deksripsi amat rinci mengenai jalur pelayaran yang dilakukan Portugis ke Hindia Timur, lengkap dengan segala permasalahannya.


Buku itu laku keras di Eropa, namun tentu saja hal ini tidak disukai Portugis. Bangsa ini menyimpan dendam pada orang-orang Belanda. Berkat van Linschoten inilah, Belanda akhirnya mengetahui banyak persoalan yang dihadapi Portugis di wilayah baru tersebut dan juga rahasia-rahasia kapal serta jalur pelayarannya. Para pengusaha dan penguasa Belanda membangun dan menyempurnakan armada kapal-kapal lautnya dengan segera, agar mereka juga bisa menjarah dunia selatan yang kaya raya, dan tidak kalah dengan kerajaan-kerajaan Eropa lainnya.


Pada tahun 1595 Belanda mengirim satu ekspedisi pertama menuju Nusantara yang disebutnya Hindia Timur. Ekspedisi ini terdiri dari empat buah kapal dengan 249 awak dipimpin Cornelis de Houtman, seorang Belanda yang telah lama bekerja pada Portugis di Lisbon. Lebih kurang satu tahun kemudian, Juni 1596, de Houtman mendarat di pelabuhan Banten yang merupakan pelabuhan utama perdagangan lada di Jawa, lalu menyusur pantai utaranya, singgah di Sedayu, Madura, dan lainnya. Kepemimpinan de Houtman sangat buruk. Dia berlaku sombong dan besikap semaunya pada orang-orang pribumi dan juga terhadap sesama pedagang Eropa. Sejumlah konflik menyebabkan dia harus kehilangan satu perahu dan banyak awaknya, sehingga ketika mendarat di Belanda pada tahun 1597, dia hanya menyisakan tiga kapal dan 89 awak. Walau demikian, tiga kapal tersebut penuh berisi rempah-rempah dan benda berharga lainnya.


Orang-orang Belanda berpikiran, jika seorang de Houtman yang tidak cakap memimpin saja bisa mendapat sebanyak itu, apalagi jika dipimpin oleh orang dan armada yang jauh lebih unggul. Kedatangan kembali tim de Houtman menimbulkan semangat yang menyala-nyala di banyak pedagang Belanda untuk mengikut jejaknya. Jejak Houtman diikuti oleh puluhan bahkan ratusan saudagar Belanda yang mengirimkan armada mereka ke Hindia Timur. Dalam tempo beberapa tahun saja, Belanda telah menjajah Hindia Timur dan hal itu berlangsung lama hingga baru merdeka pada tahun 1945.Semoga menambah wawasan kita semua.